Ahlan Wa Sahlan

Selamat membaca,merenungi dan menelaah blog ini. Semoga menjadi manfaat bagi kita semua.....

Minggu, 18 Maret 2012

Agama Di Era Abad 21


AGAMA DI ERA ABAD 21


Oleh Drs. Zamah Sari, M.Ag.*


 



I

Setiap zaman mempunyai ‘tuhan’-nya sendiri. Abad Pertengahan di Eropa Barat menjadikan gereja sebagai ‘tuhan’nya. Dan karena tuhan adalah kebenaran mutlak, maka tidak heran jika kemudian gereja menjadi penyangga dan pusat kebenaran mutlak bagi masyarakat Eropa Abad Pertengahan. Tidak ada kebenaran di luar gereja. Keyakinan itu mampu bertahan selama seribu tahun (500 – 1500 M). Perlahan-lahan namun pasti, dengan dimulainya era Renaisanse, muncul gugatan dan serangan terhadap dominasi gereja ini. Nicolaus Copernicauis dengan teori Heliosentris (bertentangan dengan ajaran Kitab Kejadian bahwa jagad berpusat pada bumi  (geosentris)), yang kemudian diikuti oleh Galileo Galilei, telah melapangkan jalan bagi bagi hujatan terhadap Tuhan dan agama seperti; agama adalah candu masyarakat (Karl Marx), Tuhan telah mati (F. Nietzsche). Dan hingga sekarang pun, hujatan terhadap agama masih tetap bergaung. Seperti pendapat A.N. Wilson yang dikutip oleh Nurcholis Madjid, bahwa agama adalah biang kerok terjadinya keonaran di muka bumi. (Madjid, 1993 : 5)
Produk dari kritik, serangan dan gugatan terhadap agama itu telah memunculkan tehnologi sebagai kekuatan sentral dalam masyarakat modern. Tidak ada aspek kehidupan yang tidak tergantung pada tehnologi. Stuktur sosial, dunia pendidikan, kehidupan ekonomi, politik dan dunia seni budaya menjadi lebih dinamis dan progresif berkat suntikan energi dari inovasi dalam dunia tehnologi. Tehnologi menjadi sumber penggerak dinamika kebudayaan modern. Tingginya apresiasi, akses dan penguasaan terhadap tehnologi berkorelasi positif terhadap kekuasaan, dominasi dan hegemoni, demikian juga sebaliknya. Telah muncul ‘tuhan’ baru pengganti gereja bagi manusia modern. Abad ini sering diidentifikasikan sebagai Abad Tehnik.
Bagaimana mungkin tehnologi menjadi ‘tuhan’ bagi manusia modern ? Barangkali bisa dijelaskan dengan menggunakan teori dialektika fundamental dalam masyarakat yang terdiri dari tiga momentum; eksternalisasi, obyetivasi dan internalisasi (Berger, 1991 : 4). Pada momentum eksternalisasi, tehnologi merupakan produk aktivitas manusia. Pada momentum obyektivasi, tehnologi merupakan fakta eksternal yang berhadap dan sekaligus lain sama sekali dengan produsernya (manusia). Sedangkan pada momentum internalisasi, tehnologi ditransformasikan lagi ke dalam struktur-struktur kesadaran subyektif manusia. Pada momentum terakhir ini, maka sesungguhnya masyarakat merupakan produk tehnologi. Dan manakala manusia kehilangan kebebasan manusianya dalam berhadapan dengan tehnologi, maka dalam konteks itu tehnologi tidak lagi sekedar perpanjangan tangan manusia dalam menguasai alam, tetapi tehnologi berubah menjadi ‘tuhan’ baru bagi manusia.
Bagi agama, peran sentral tehnologi dalam masyarakat modern ini menjadi problematika sendiri. Bagaimana posisi dan peran agama dalam Abad Tehnik ini ? Bukankah agama mempunyai klaim atas kebenaran mutlak, dan yang ajarannya bersumber dari Yang Maha Mutlak ? Sementara kenyataan yang dialami di lapangan adalah bahwa agama tidak hanya terkesan lamban dalam mengimbangi perkembangan tehnologi, tetapi agama juga sering dicap sebagai penghambat kemajuan. Bahkan lebih ironis lagi ketika agama mendapai dirinya sebagai ‘tong sampah’ dari limbah-limbah tehnologi itu. Kenyataan pahit inilah, yakni kesenjangan antara yang ideal dengan realitas sejarah, yang kemudian memaksa agama untuk merumuskan  dirinya kembali. Sehingga eksistensi agama dalam masyarakat modern tetap memilki signifikansi sebagai sesuatu yang fitrahi bagi manusia sendiri (QS, 30 : 30).



II


Melihat ke Abad Tehnik, nampak betapa pesimisnya para pemikir terhadap peran agama dalam masyarakat modern. Agama dianggap tidak mampu memecahkan persoalan kemanusiaan. Bahkan tidak jarang dalam pandangan mereka agama justru menjadi faktor yang signifikan dalam banyak kekerasan sosial, peperangan dan kebangkrutan moral ummat manusia. Peranan negatif agama ini, menurut Ayrookuzhiel, muncul karena mereka tidak melihat bahwa dalam mekanisme agama dan struktur sosial agama, ada kesempatan bagi mereka untuk membawa atau memperjuangkan aspirasi-aspirasi mereka ke arah nilai-nilai seperti kebebasan, persamaan, persaudaraan dan keadilan sosial (Sumartana, 1994 : 121).
Namun sebaliknya, tidak sedikit pula pemikir yang menaruh harapan besar terhadap peranan agama untu keluar dari perangkap Abad Tehnik dan dalam menghadapi tantangan Millenium Ketiga masa yang akan datang. Pandangan-pandangan pesimis terhadap peranan agama yang sedemikian tereduksinya oleh kenyataan kebejatan sosial, justru bisa dibantah dengan bukti-bukti empiris yang sama banyaknya di seluruh belahan dunia ini. Harapan terhadap peranan agama pada era globalisasi yang akan datang, yang ditandai oleh runtuhnya batasan-batasan negara-bangsa, aktifitas ekonomi global, penyeragaman selera serta pluralisme pada segala bidang kehidupan manusia, diperkuat oleh kayakinan bahwa agama memliki dimensi etik yang dengan kedalaman spiritualnya dapat menjadi sumber energi yang tak pernah habisnya dalam menyemai benih-benih rahmat di alam semesta ini. Agama dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia, yang dalam masyarakat modern telah tergantikan oleh kepuasan materialisme yang hedonis, seperti eksploitasi seks dan sejenisnya, yang oleh Akbar S. Ahmed, telah menemukan bentuknya yang paling vulgar pada diri Madonna (Ahmed, 1993 : 200).
Sudjatmoko menaruh harapan yang sangat besar sekali akan peran agama dalam menyelesaikan masalah-masalah masyarakat modern. Bukan saja dalam menyelasaikan persoalan-persoalan ekonomi dan kemiskinan, tetapi yang lebih penting adalah andil agama dalam memecahkan dilema-dilema moral dan etika masyarakat modern. Bagi Ahmad an-Naim, sekularisasi yang diadopsi dari budaya Barat bukanlah solusi yang tepat bagi dilema manusia modern. Agamalah menurut dia satu-satunya alternatif bagi manusia untuk keluar dari benang kusut tersebut, dengan catatan, agama tersebut adalah agama yang meihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. (Sumartana : 156).
Munculnya optimisme terhadap peranan agama pada Millenium Ketiga perlu dilacak pada kegagalan modernisme dalam menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Kegagalan yang pertama mungkin dapat dilihat dari semakin disadarinya adanya krisis sosial, moral dan etika dalam masyarakat modern yang intinya berakar pada kultus persona. Melalui kultus ini dipujalah gagasan bahwa manusia adalah ukuran segalanya. Dan penghargaan yang berlebihan terhadap manusia itu berimplikasi pada pengabaian yang ekstrem terhadap alam. Kultus terhadap diri manusia ini mungkin dapat dipahami melalui pandangan Toynbee. Menurutnya, ketika masyarakat Barat mampu keluar dari kungkungan gereja, mereka bukannnya berterimaksih kepada Tuhan, tetapi mereka berterimakasih terhadap dirinya sendiri (Toynbee, 1957 : 148). Kedua, sebagai akibat dari dominasi tehnologi terhadap diri manusia, alih-alih membebaskan manusia, tehnologi malah menciptakan masyarakat abstrak (Nafis, 1996 : 47). Sebuah masyarakat yang terbelenggu oleh logika tehnologi.
Melalui dominasi tehnologi ini, terjadilah pembunuhan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tehnologi memang memberi sejuta kemudahan bagi manusia, tetapi biayanya adalah manusia kehilangan makna dan tujuan hidupnya. Tehnologi memberi kepuasan bagi manusia, tetapi alam juga diperkosa, hutan-hutan digunduli dan kerusakan lingkungan sudah sangat mengkhawatirkan. Harmonitas dirusak oleh kompetisis yang kejam. Gotong royong hancur berantakan oleh individualisme. Banyak terjadi perpecahan keluarga, pengingkaran terhadap tradisi bahkan terhadap keimanan. Individu modern menjadi pribadi yang terbelah dan gamang. Manusia dihibur, tetapi sekaligus diatur oleh tehnologi informasi. Jadwal kegiatan masyarakat disesuaikan dengan program-program media elektronik. (Ibrahim, 1997 : 127).


III
Jika agama akan memegang peranan penting dalam Millenium Ketiga nanti, pertanyaannya adalah agama yang seperti apa ? Apakah semua agama ? Apakah agama-agama formal seperti Islam dapat mengambil posisi dan peranan yang tepat nantnya ? Di sini mungkin perlu disimak prediksi Naisbitt dan Aburdene tentang masa depan agama, “Spirituality, Yes. Organized Religion, No” (John Naisbitt and Patricia Aburdene, 1991 : 295). Harapan Naisbitt terhadap kehidupan keruhanian di masa depan, dan ketidak percayaannya terhadap agama formal mungkin sulit dimengerti, terutama bagi pemeluk agama formal seperti muslim. Dengan pandangannya itu, bagi Naisbitt tidak ada prospek bagi Islam atau agama formal lainnya pada masa yang akan datang. Namun menurut Nurcholis Madjid, hal itu tidak sulit dimengerti, jika agama yang dikritik oleh Naisbitt adalah agama yang tampil dalam bentuk pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolustik dan dengan sendirinya menjadi eksklusiv (Madjid : 8). Atau agama yang oleh Kepel disebut sebagai agama “orang-orang beriman” yang telah menegaskan kembali identitas keagamaan mereka ke dalam kriteria kebenaran yang tertutup bagi yang lainnya sekaligus khas bagi diri mereka sendiri (Kepel, 1997 : 279).
Meskipun bermasalah, mungkin istlah fundamentalisme dapat dipakai untuk menjelaskan gejala keberagamaan itu. Istilah ini sangat dekat sekali dengan pencitraan yang berbau fanatisme, ekstremisme dan bahkan terorisme. Padahal bagi Islam, aktualisasi dari ajaran agama tidak boleh keluar dari rambu-rambu al-Qur’an dan Sunnah. Jika hal itu disebut fanatik, maka ummat Islam pada dasarnya adalah fundamentalisme. Oleh karena itu R.M. Burrel mengingatkan, penelitian terhadap fundamentalisme tidak dapat mengharapkan jawaban-jawaban yang sederhana, karena fundamentalisme adalah suatu fenomena yang sangat kompleks dan berbeda (Burrel, 1995 : 4-5).
Meskipun Indonesia bukanlah Barat, tetapi kondisi-kondisi sosial-psikologis yang menyediakan lahan bagi tumbuh dan berkembangnya fundamentalisme tidaklah terlalu berbeda dengan kondisi Barat, misalnya kesepian, alienasi dan dislokasi kejiwaan (Madjid : 10). Hal ini didukung oleh penelitian Martin van Bruinessen di Indonesia, yang merekam munculnya Gerakan Sempalan Islam di Indonesia. Dengan menunjuk kepada Islam Jamaah, Usroh, Darul Argam dan Jamaah Imron, Martin merumuskan bahwa gerakan sempalan itu adalah kelompok-kelompok dan tubuh ummat Islam yang dengan sengaja memisahkan diri dari mainstream ummat, yang cenderung eksklusiv, dan sering kritis terhadap para ulama yang established (Martin, 1992 : 17).
Jika sikap keberagamaan seperti ini yang dikritik oleh Naisbit, maka kritik itu memang relevan bagi kehidupan beragama di masa depan. Pluralitas agama dan budaya yang menjadi ciri Milenium Ketiga nanti, sama sekali tidak kondusif bagi sikap-sikap keberagamaan yang tertutup, kaku, menyerahkan segala sesuatunya kepada keputusan Sang Imam (totaliterianisme) dan tidak toleran terhadap yang lainnya.


IV
Ketika fundamentalisme tidak dapat memenuhi harapan ummat untuk menjadi partisipan aktif dalam Millenium Ketiga nanti, lalu kehidupan beragama yang bagaimanakah yang lebih relevan ? Bagi Islam, jawaban normatifnya sangat jelas. Format agama yang  cocok dan sesuai dengan kehidupan masa yang akan datang adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan membawa misi rahmatan lil ’alamin. Agama yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agama yang mampu memberikan landasan etik bagi gerak dan dinamika masyarakat dan kebudayaan.
Sebagai sebuah tawaran bagi sikap keberagamaan untuk masyarakat yang akan datang, barangkali dapat ditelusuri pada pemahaman terhadap Surat Ali Imran ayat 10:
          “Kamu adalah Ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…”

Penafsiran Kuntowijoyo terhadap ayat ini akan dijadikan acuan dalam merumuskan format agama Islam masa depan. Menurutnya, ayat ini memiliki social significance. Yang pertama adalah amar ma’ruf. Kuntowijoyo memakai istilah emansipasi untuk Amar Ma’ruf ini. Emansipasi berarti merdeka dari hambatan, atau mengeluarkan dari ikatan menuju kemerdekaan. Dengan emansipasi harkat dan martabat manusia selalu dijaga dan diangkat. Dengan demikian, sikap keberagamaan yang tepat adalah sikap keberagamaan yang selalu pro-aktif dalam upaya merumuskan dan membentuk masyarakat utama.
Gerakan emansipasi ini dapat dielaborasi oleh institusi-institusi sosial Islam ke dalam bentuk agenda-agenda; pertama, transformasi ummat dari yang abstrak ke konkret. Dalam kenyataannya ummat sering merasa jauh dari gagasan yang abstrak seperti; demokratisasi, HAM, sekularisasi dan seterusnya. Bagi mereka semua hal itu terlalu mewah dan tidak menyentuh kehidupan riil yang mereka rasakan. Oleh karena itu, yang paling penting adalah bagaimana cara mensosialisasikan cara berfikir yang konkret di tengah-tengah ummat yang terbiasa berfikir abstrak, sehingga kepentingan masyarakat lapisan bawah dapat terakomodasikan ke dalam semua bentuk keputusan-keputusan publik. Yang kedua, transformasi ummat dari cara berfikir ideologis menuju cara befikir keilmuan. Berfikir secara ideologis adalah berfikir secara dikhotomis, tertutup dan tidak bisa dibantah. Oleh karena itu, sikap beragama yang tepat selalu dapat merangsang dinamika ummat melalui cara berfikir keilmuan yang terbuka dan memungkinkan selalu terjadinya perbaikan kualitas hidup ummat. Yang ketiga adalah transformasi ummat dari cara berfikir subjektif ke cara berfikir yang objektif. Pergeseran dari cara berfikir subjektif ke objektif ini dapat dilakukan melalui: 1. Menghilangkan egosentyris ummat, 2. Pluralisme sosial, 3. Pluralisme budaya dan, 4. Pluralisme agama (Kuntowijoyo, 1997 : 17 – 26). Gagasan emansipasi Kuntowijoyo ini barangkali sejajar dengan gagasan Alwi Shihab tentang Islam Inklusif ( Shihab, 1997 : 78-81), agama yang selalu bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa (al-hanafiyat al-samhah) manusia (Madjid : 19).
Dalam sosiologi diketahui bahwa, bahwa agama tidak hanya berfungsi legitimatis terhadap realitas sosial, tetapi agama juga berfungsi kritis terhadap realitas yang ada. Jika agama hanya berfungsi legitimatis, maka bisa jadi agama akan berubah menjadi kekuatan yang mengalienasikan manusia dari dirinya sendiri. Tidak jarang kata Berger, agama juga menjadi badan pengasing yang kuat, barangkali yang paling kuat (Berger : 105). Dalam keadaan seperti ini, fungsi kritis agama akan digantikan oleh institusi-institusi sosial lainnya, dan agama akan kehilangan peranan.
Oleh karenanya, agama harus mampu menampilkan fungsi kritisnya, tampil sebagai kekuatan nahy al-munkar, atau dalam bahasa Kuntowijoyo disebut dengan liberasi. Liberasi atau pembebasan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaannya (Kuntowijoyo : 1997). Dan agenda liberasi ini meliputi pembebasan dari sistem sosial, liberasi sistem ekonomi serta leiberasi dalam sistem politik.
Sebagai rangkaian terakhir dari sikap keberagamaan yang inklusiv dan toleran itu adalah bahwa kedua gerakan tersebut (emansipasi dan liberasi) haruslah berada dalam kerangka tu’minuna billah. Transendensi atau menembus, melewati dan melampaui batas-batas kehidupan duniawi ini. Ummat harus melakukan transendensi terhadap gerakan-gerakan emansipasi dan liberasinya. Tanpa transendensi, gerakan ini akan kehilangan maknanya yang kosmik. Dalam hal ini, Tuhan diyakini sebagai pemegang otoritas yang Maha Objektif terhadap seluruh makhluknya (Kuntowijoyo : 1997).








* Disampaikan pada Seminar  “Optimalisasi Dimensi Spiritual Melalui Lembaga Pendidikan” Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, 27 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar